RAJA’
Kaitannya dengan tempat persinggahan raja’ (mengharap) ini, Allah ﷻ telah berfirman :
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
اُولٰٓئِكَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ يَبْتَغُوْنَ اِلٰى رَبِّهِمُ الْوَسِيْلَةَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ وَيَرْجُوْنَ رَحْمَتَهٗ وَيَخَا فُوْنَ عَذَا بَهٗ ۗ اِنَّ عَذَا بَ رَبِّكَ كَا نَ مَحْذُوْرًا. (٥٧)
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah). Mereka mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sungguh, azab Tuhanmu itu sesuatu yang (harus) ditakuti.”(QS. Al-Isra’ 17: Ayat 57)
Mencari jalan dalam ayat ini artinya mencari cara untuk mendekatkan diri kepada Allah ﷻ dengan melakukan ubudiyah dan juga mencintai-Nya. Ada tiga sendi iman: Cinta, rasa takut dan berharap. Tentang harapan ini Allah ﷻ telah menjelaskan :
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
فَمَنْ كَا نَ يَرْجُوْا لِقَآءَ رَبِّهٖ فَلْيَـعْمَلْ عَمَلًا صَا لِحًـاوَّلَايُشْرِكْ بِعِبَا دَةِ رَبِّهٖۤ اَحَدًا. (١١٠)
” Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia menyekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”
(QS. Al-Kahf 18: Ayat 110)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
اُولٰٓئِكَ يَرْجُوْنَ رَحْمَتَ اللّٰهِ ۗ وَا للّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ.
“Mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 218)
Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Jabir dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, tiga hari sebelum wafat.
لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ.
“Janganlah salah seorang dari kalian meninggal dunia kecuali ia berprasangka baik kepada Allah .” (HR. Muslim, Hadits No. 5124 )
Juga dari Jabir disebutkan di dalam Ash-Shahih, Rasulullah ﷺ bersabda :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا دَعَانِي.
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku berada pada prasangka hamba-Ku, dan Aku selalu bersamanya bila ia berdoa kepada-Ku.” ( HR. Ahmad, Hadits No. 12715, HR. Muslim, Hadits No. 4849 )
Raja’ merupakan ayunan langkah yang membawa hati ke tempat Sang Kekasih, yaitu Allah ﷻ dan kampung akhirat. Ada yang berpendapat, artinya kepercayaan tentang kemurahan Allah ﷻ.
Perbedaan raja (mengharap) dengan tamanni (berangan-angan), bahwa berangan-angan disertai kemalasan, pelakunya tidak pernah bersungguh- sungguh dan berusaha. Sedangkan mengharap itu disertai dengan usaha dan tawakal. Yang pertama seperti keadaan orang yang berangan-angan andaikan dia mempunyai sepetak tanah yang dapat dia tanami dan hasilnya pun dipetik. Yang kedua seperti keadaan orang yang mempunyai sepetak tanah dan dia olah dan tanami, lalu dia berharap tanamannya tumbuh. Karena itu para ulama telah sepakat bahwa raja’ tidak dianggap sah kecuali disertai usaha.
Raja’ itu ada tiga macam; Dua macam terpuji dan satu macam tercela, yaitu:
1. Harapan seseorang agar dapat taat kepada Allah ﷻ berdasarkan cahaya dari Allah ﷻ, lalu dia mengharap pahala-Nya.
2. Seseorang yang berbuat dosa lalu bertaubat dan mengharapkan ampunan Allah ﷻ, kemurahan dan kasih sayang – Nya.
3. Orang yang melakukan kesalahan dan mengharap rahmat Allah ﷻ tanpa disertai usaha. Ini sesuatu yang menipu dan harapan yang dusta.
Orang yang berjalan kepada Allah ﷻ mempunyai dua pandangan: Pandangan kepada diri sendiri, aib dan kekurangan amalnya, sehingga membukakan pintu ketakutan, agar dia melihat kelapangan karunia Allah ﷻ, dan pandangan yang membukakan pintu harapan baginya. Karena itu ada yang mengatakan bahwa batasan raja’ adalah keluasan rahmat Allah ﷻ.
Ahmad bin Ashim pernah ditanya, “Apakah tanda raja pada diri hamba ?” Dia menjawab, “Jika dia dikelilingi kebaikan, maka dia mendapat ilham untuk bersyukur, sambil mengharap kesempurnaan nikmat dari Allah ﷻ di dunia dan di akhirat, serta mengharap kesempurnaan ampunan-Nya di akhirat.”
Maka ada perbedaan pendapat, mana di antara dua macam raja yang paling sempurna, raja-nya orang yang berbuat baik untuk mendapatkan pahala kebaikannya, ataukah rajanya orang yang berbuat keburukan lalu bertaubat dan mengharapkan ampunan-Nya?
Pengarang Manazilus Sa irin mengatakan, bahwa raja merupakan tempat persinggahan dan kedudukan yang paling lemah bagi orang yang berjalan kepada Allah ﷻ, karena di satu sisi raja menggambarkan perlawanan, dan di sisi lain menggambarkan protes.
Memang kami mencintai Abu Isma’il yang mengarang Manazilus Sa’irin. Tapi kebenaran jauh lebih kami cintai daripada cinta kami kepadanya. Siapa pun orangnya selain Rasulullah ﷺ yang ma’shum perkataannya boleh diambil dan boleh ditinggalkan. Kami berprasangka baik terhadap perkataan Abu Isma’il ini, tetapi kami akan menjabarkannya agar menjadi lebih jelas.
Perkataannya, “Raja’ merupakan tempat persinggahan dan kedudukan yang paling lemah bagi orang yang berjalan kepada Allah ﷻ, hal itu jika dibandingkan dengan tempat persinggahan lain seperti ma’rifat, cinta ikhlas, jujur, tawakal dan lain-lainnya, bukan berarti keadaannya yang lemah dan kurang.
Sedangkan perkataannya, “Karena di satu sisi raja’ menggambarkan perlawanan, dan di sisi lain menggambarkan protes”, karena raja’ merupakan kebergantungan kepada kehendak hamba agar mendapatkan pahala dan karunia dari Allah ﷻ. Padahal yang dikehendaki Allah ﷻ dari hamba ialah agar hamba itu memenuhi hak Allah ﷻ dan bermu’amalah dengan-Nya dengan hukum keadilan-Nya. Jika dalam mu’amalahnya dengan Allah ﷻ, hamba mendasarkan kepada hukum karunia, maka hal ini termasuk bentuk perlawanan. Seakan- akan orang yang berharap menggantung hatinya kepada sesuatu yang berlawanan dengan kehendak Penguasa. Berarti hal ini menafikan hukum kepasrahan dan ketundukan kepada-Nya. Berarti raja hamba itu berlawanan dengan hukum dan kehendak-Nya. Orang yang mencintai ialah yang mengabaikan kehendak dirinya sendiri karena mementingkan kehendak kekasihnya. Sedangkan dari sisi yang menggambarkan protes, karena jika hati bergantung kepada raja’, lalu tidak mendapatkan apa yang diharapkan, maka ia akan protes. Kalau pun hati mendapatkan apa yang diharapkan, ia tetap protes, karena apa yang didapatkan tidak tepat dengan apa yang diharapkan Toh setiap orang tentu mengharap karunia Allah ﷻ dan di dalam hatinya pasti melintas harapan ini. Ada sisi lain dari protes ini, yaitu dia protes kepada Allah ﷻ karena apa yang diharapkannya itu. Sebab orang yang berharap tentu mengangan-angankan apa yang diharapkannya dan dia terpengaruh olehnya. Yang demikian ini berarti merupakan protes terhadap takdir dan menafikan kesempurnaan kepasrahan dan ridha kepada takdir.
Inilah yang dikatakan Abu Isma’il di dalam Manazilus Sa’irin beserta interpretasinya yang paling baik. Hal ini dapat ditanggapi sebagai berikut, bahwa apa yang dikatakan itu dan sejenisnya merupakan ketergelinciran yang diharapkan diampuni karena kebaikan beliau yang banyak, ia memiliki kejujuran yang sempurna, mu’amalahnya dengan Allah ﷻ benar, keikhlasannya kuat, tauhidnya murni tetapi tidak ada orang selain Rasulullah ﷺ yang terjaga dari kesalahan dan kekurangan.
Ketergelinciran ini mendatangkan fitnah terhadap golongan orang-orang yang kebaikan, kehalusan jiwa dan mu’amalahnya tidak seperti mereka. Lalu mereka pun mengingkari dan berburuk sangka terhadap golongan ini. Bualan ini juga mendatangkan cobaan terhadap orang-orang yang adil dan obyektif, yang memberikan hak kepada orang yang memang berhak dan menempatkan segala sesuatu pada proporsinya, yang tidak menghukumi sesuatu yang benar dengan yang cacat atau kebalikannya. Mereka menerima apa yang memang diterima dan menolak apa yang memang harus ditolak. Bualan-bualan inilah yang ditolak dan diingkari para pemuka ulama dan mereka membebaskan diri dari hal-hal seperti ini serta akibat-akibat yang ditimbulkannya, seperti yang diceritakan Abul-Qasim Al-Qusyairi, “Aku mendengar Abu Sa’id Asy-Syahham berkata, “Aku pernah bermimpi bertemu Abu Sahl Ash-Sha’luki yang sudah meninggal dunia. Aku bertanya kepadanya (dalam mimpi), “Apa yang dilakukan Allah ﷻ terhadap dirimu ?” Abu Sahl menjawab, “Allah ﷻ telah mengampuni dosaku karena masalah-masalah yang ditanyakan orang-orang yang lemah.”
Tentang perkataan Abu Ismail, “Raja’ merupakan tempat persinggahan dan kedudukan yang paling rendah”, maka ini tidak benar, bahkan ini merupakan tempat persinggahan yang agung tinggi dan mulia. Harapan, cinta dan rasa takut merupakan inti perjalanan kepada Allah ﷻ. Allah ﷻ telah memuji orang-orang yang berharap dalam firman-Nya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
لَقَدْ كَا نَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَا نَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَا لْيَوْمَ الْاٰ خِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًا. (٢١)
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah ﷺ itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”
(QS. Al-Ahzab 33: Ayat 21)
Disebutkan di dalam hadits shahih, dari Nabi ﷺ :
إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي فَإِنِّي سَأَغْفِرُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلَوْ لَقِيتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا لَلَقِيتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً وَلَوْ عَمِلْتَ مِنْ الْخَطَايَا حَتَّى تَبْلُغَ عَنَانَ السَّمَاءِ مَا لَمْ تُشْرِكْ بِي شَيْئًا ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي لَغَفَرْتُ لَكَ ثُمَّ لَا أُبَالِ.
‘Wahai anak adam, sesungguhnya jika engkau berdoa dan berharap kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampunimu dan Aku tidak akan memperdulikannya lagi. Wahai anak Adam, seandainya dosa-dosamu memenuhi seluruh langit, kemudian engkau memohon ampun pada-Ku niscaya Aku akan mengampunimu. Wahai anak Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan kesalahan sepenuh bumi, niscaya aku akan datang kepadamu dengan pengampunan sepenuh bumi pula. Dan kaluapun kalian tahu kesalahan itu memenuihi langit kemudian engkau menjumpai-Ku dalam keadaan tidak berbuat syirik dengan apapun, dan kalian memohon ampun kepada-Ku maka akan Aku ampuni tanpa memperdulikan dosa kalian.”( HR. Ahmad, Hadits No. 20529 )
Dari Abu Hurairah dari Nabi ﷺ, beliau bersabda :
يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ حِينَ يَذْكُرُنِي إِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ هُمْ خَيْرٌ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ مِنِّي شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً.
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id dan Zuhair bin Harb – dan lafadh ini milik Qutaibah- mereka berkata, telah menceritakan kepada kami Jarir dari Al A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dia berkata, Nabi ﷺ bersabda, “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku sesuai prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku akan bersamanya selama ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku, jika ia mengingat-Ku dalam sekumpulan orang maka Aku akan mengingatnya dalam sekumpulan yang lebih baik dan lebih bagus darinya. Jika ia mendekat kepada-Ku satu jengkal maka Aku akan mendekat kepada-Nya satu hasta, jika ia mendekat kepada-Ku satu hasta maka Aku akan mendekat kepadanya satu depa, dan jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan maka Aku akan mendatanginya dengan berlari.’ ( HR. Muslim, Hadits No. 4832 )
Allah ﷻ telah mengabarkan orang-orang khusus dari hamba-hamba-Nya, yang kemudian orang-orang musyrik beranggapan bahwa hamba-hamba yang khusus ini bisa mendekatkan mereka kepada Allah ﷻ. Padahal hamba-hamba yang khusus itu pun masih berharap kepada Allah ﷻ dan takut kepada-Nya,
“Katakanlah, Panggillah mereka yang kalian anggap (tuhan) selain Allah ﷻ, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya dari kalian dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah ﷻ) dan mengharap rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya. Sesungguh-nya adzab Rabbmu adalah suatu yang harus) ditakuti.” (QS. Al-Isra’: 56-57)
Allah ﷻ berfirman. “Orang-orang yang kalian sembah selain-Ku adalah hamba-hamba-Ku, yang mendekatkan diri kepada-Ku dengan taat kepada-Ku, mengharap rahmat-Ku dan takut adzab-Ku. Lalu mengapa kalian menyembah mereka ?” Di sini Allah ﷻ memuji keadaan hamba-hamba-Nya itu, yang memiliki cinta, rasa takut dan harapan.
Tentang perkataan Abu Isma’il, “Di satu sisi raja menggambarkan perlawanan, dan di sisi lain menggambarkan protes”, juga tidak bisa dianggap benar. Sebab raja merupakan budiyah dan bergantung kepada Allah ﷻ, karena di antara asma’-Nya adalah Al-Muhsin Al-Barr (Yang berbuat kebaikan dan kebajikan). Beribadah dengan asma’ ini dan mengetahui Allah ﷻ merupakan pendorong bagi hamba untuk mengharap, entah dia menyadari atau tidak menyadarinya. Kekuatan harapan tergantung dari kekuatan ma’rifat tentang Allah ﷻ, sifat dan asma-Nya, rahmat dan murka-Nya. Andaikata tidak ada ruh harapan, tentu banyak ubudiyah hati dan anggota tubuh yang ditelantarkan, biara dan masjid dirobohkan, yang di dalamnya nama Allah ﷻ banyak disebut. Bahkan andaikata tidak ada ruh harapan, tentu anggota tubuh tidak mau bergerak untuk melakukan ketaatan. Andaikata tidak ada angin harapan yang berhembus, tentu perahu amal tidak akan melaju di lautan kehendak.
Kekuatan cinta menjadi gantungan kekuatan harapan. Setiap orang yang mencintai tentu berharap dan takut. Dialah orang yang paling mengharapkan apa yang ada pada diri kekasihnya. Begitu pula rasa takutnya, dia adalah orang yang paling merasa takut andaikan dirinya dipandang sebelah mata oleh kekasihnya, andaikan dia jauh darinya. Ketakutannya merupakan ketakutan yang teramat sangat dan harapannya merupakan cermin cintanya. Tidak ada kehidupan bagi orang yang jatuh cinta, tidak ada kenikmatan dan keberuntungan kecuali berhubungan dengan kekasihnya. Setiap cinta tentu disertai rasa takut dan harapan. Seberapa jauh cinta ini bersemayam di dalam hati orang yang mencintai, maka sejauh itu pula rasa takut dan harapannya.
Tapi ketakutan orang yang mencintai tidak disertai kekhawatiran seperti halnya orang yang berbuat keburukan. Harapan orang yang mencintai tidak disertai alasan, berbeda dengan harapan buruh atau upahan. Bagaimana mungkin harapan orang yang mencintai disamakan dengan harapan buruh, sementara perbedaan keadaan di antara keduanya amat jauh berbeda ?
Secara umum, harapan merupakan sesuatu yang amat penting bagi orang yang berjalan kepada Allah ﷻ dan orang yang memiliki ma’rifat. Sebab tentunya dia tidak lepas dari dosa yang dia harapkan pengampunannya, tak lepas dari aib yang dia harapkan pembenahannya, tidak lepas dari amal shalih yang dia harapkan penerimaannya, tidak lepas dari istiqamah yang dia harapkan kekekalannya, tidak lepas dari kedekatan dengan Allah ﷻ yang dia harapkan pencapaiannya. Maka bagaimana mungkin harapan dikatakan sebagai tempat persinggahan dan kedudukan yang paling lemah ?
Harapan merupakan sebab yang dengannya hamba bisa memperoleh apa yang diharapkan dari Rabb-nya, bahkan ini merupakan sebab yang paling kuat. Sekiranya harapan itu mengandung perlawanan dan protes, tentunya doa dan permohonan lebih layak dikatakan sebagai bentuk perlawanan dan protes. Doa dan permohonan hamba kepada Rabb nya agar Dia memberikan petunjuk, taufik, jalan lurus, menolongnya agar tetap taat, menjauhkannya dari kedurhakaan, mengampuni dosa-dosanya, memasukkannya ke surga, menjauhkannya dari neraka, berarti merupakan bentuk perlawanan dan protes. Sebab hamba yang berdoa ini mengharap dan menuntut apa yang diharapkannya, berarti dia lebih layak dikatakan melawan dan memprotes.
Harapan dan doa tidak mengandung perlawanan terhadap tindakan Penguasa di dalam kekuasaan-Nya. Hamba hanya mengharap tindakan-Nya, sesuai dengan sesuatu yang paling disukainya dari dua hal, karena sesungguhnya Allah ﷻ lebih menyukai karunia daripada keadilan, Allah ﷻ lebih menyukai ampunan daripada dendam, Allah ﷻ lebih menyukai tenggang rasa daripada penelitian secara detail, dan yang rahmat-Nya mengalahkan murka- Nya. Orang yang berharap mengaitkan harapannya dengan tindakan yang paling disukai dan diridhai-Nya.
Tentang protes hamba jika tidak mendapatkan apa yang diharapkannya, maka ini merupakan kekurangan dalam ubudiyah dan kebodohan terhadap Rububiyah. Hamba yang berharap dan berdoa mengharap suatu lebihan yang sebenarnya bukan merupakan haknya dan tidak seharusnya dia meminta imbalan. Kalau memang dia diberi, maka itu semata karena karunia Allah ﷻ. Jika dia tidak diberi, bukan berarti haknya tidak akan diberikan kepadanya. Maka protesnya ini merupakan cermin kebodohan. Jadi memang tidak mendapatkan apa yang diharapkan dalam hak hamba yang lurus tidak semestinya menimbulkan perlawanan dan protes. Rasulullah ﷺ pernah menyampaikan tiga permintaan bagi umatnya kepada Allah ﷻ. Dua dipenuhi dan satu ditolak Beliau ridha terhadap apa yang diberikan Allah ﷻ ini dan tidak memprotes apa yang tidak diberikan.
Menurut pengarang Manazilus Sa’irin, harapan itu ada tiga derajat:
1. yang bisa membangkitkan hamba yang beramal untuk berusaha. yang melahirkan kenikmatan dalam pengabdian, dan yang membangunkan tabiat untuk meninggalkan larangan.
Dengan kata lain, harapan ini membuatnya semakin bersemangat untuk berusaha dan mengharapkan pahala dari Rabb-nya. Siapa yang mengetahui kadar tuntutannya, maka dia akan menganggap remeh usaha yang telah dilakukannya. Melahirkan kenikmatan dalam pengabdian artinya setiap kali hatinya merasakan buah pengabdian itu dan hasilnya yang baik, maka dia menikmatinya. Yang demikian ini seperti keadaan orang yang mengharapkan keuntungan yang melimpah dalam perjalanannya, dengan membandingkan beratnya perjalanan yang harus dilaluinya. Setiap kali hatinya menggambarkan hal ini, maka segala kesulitan dianggap enteng dan bahkan dia menikmati kesulitan itu. Begitu pula keadaan orang yang mencintai secara tulus, yang berusaha mendapatkan keridhaan dan cinta kekasihnya, yang menikmati segala usaha yang dilakukannya karena menggambarkan hasil keridhaannya Sedangkan tentang membangunkan tabiat untuk meninggalkan larangan, karena tabiat itu mempunyai gambaran-gambaran yang menguasai hamba, yang tidak berkenan meninggalkan gambaran-gambaran itu kecuali jika dia mendapatkan imbalan yang lebih disukainya. Jika ketergantungan hamba kepada imbalan yang lebih baik ini, maka tabiatnya menjadi lega. Jiwa tidak mau meninggalkan sesuatu yang dicintainya kecuali dia berikan kepada kekasih yang lebih dicintainya, atau jiwa itu akan mewaspadai sesuatu yang paling banyak mendatangkan kerusakan.
2. Harapan orang-orang yang biasa melatih jiwa, agar mereka mencapai suatu kondisi yang dapat membersihkan hasrat, dengan menolak berbagai macam kesenangan, memperhatikan syarat-syarat ilmu dan berusaha agar terlindung dari hal-hal yang dikhawatirkan akan mendatangkan mudharat di dunia dan akhirat.
3. Harapan orang-orang yang dapat menguasai hati, yaitu harapan untuk bersua Khaliq yang membangkitkan kerinduannya, yang tidak menyukai kehidupan lebih lama dan yang zuhud di tengah makhluk. Ini merupakan jenis-jenis harapan yang paling baik dan paling tinggi. Ini merupakan harapan yang menjadi inti iman.